Source: Rumaysho.com
Aisyah itu membayar hutang puasa (qadha’ puasa) di bulan Sya’ban artinya ‘Aisyah menunda qadha’ puasanya hingga bulan Sya’ban.
Sebagaimana wanita pada umumnya, Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di bulan Ramadhan memiliki uzur sehingga tidak berpuasa, entah karena datang bulan (haidh) atau alasan lainnya. Ia menunda pembayaran utang puasanya (qadha’ puasanya) hingga bulan Sya’ban. Yang jelas ‘Aisyah menunaikan qadha’nya sebelum Ramadhan berikutnya tiba. Karena kesempatan yang tersisa hanya di bulan Sya’ban, ‘Aisyah pun segera membayar utang puasanya.
Dari Abu Salamah, ia mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah mampu membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari, no. 1950; Muslim, no. 1146)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَوْ بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah mampu membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban karena kesibukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Faedah Penting
- Boleh menunda qadha’ puasa Ramadhan hingga bulan Sya’ban. Namun baiknya tetap tidak menunda kecuali karena ada uzur.
- Lebih baik untuk menyegerakan qadha’ puasa karena ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menyampaikan alasan kenapa sampai ia menunda sampai bulan Sya’ban.
- Haramnya mengakhirkan puasa hingga Ramadhan berikutnya karena ‘Aisyah menjadikan bulan Sya’ban sebagai bulan terakhir untuk penunaian qadha’ puasa.
- Hendaknya memberikan alasan jika kita menyelisihi sesuatu yang seharusnya ditunaikan di awal supaya tidak ada yang menyangka yang bukan-bukan. (Tanbih Al-Afham, hlm. 437)
- Jika seseorang menunda pelunasan puasa hingga masuk Ramadhan berikutnya, tetap qadha’ puasanya tersebut ditunaikan setelah Ramadhan kedua lalu setiap hari qadha’ puasa ditambahkan dengan penunaian fidyah karena sebab menunda-nunda tanpa ada uzur. (Lihat Syarh ‘Umdah Al-Ahkam karya Syaikh As-Sa’di, hlm. 351).

Pelajaran: Istri Harus Siap Melayan Suami
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, para istri Nabi benar-benar ingin mengabdi pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sewaktu-waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerlukan istrinya untuk bersenang-senang, mereka pun siap. Para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti ‘Aisyah tidak mengetahui bila diinginkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun tidak meminta izin pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa karena khawatir sewaktu-waktu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerlukan dirinya dan kalau berpuasa malah tidak boleh melayani. Inilah adab seorang isteri pada suami yang seharusnya menjadi contoh.
Pelajaran: Tidak Boleh Puasa Sunnah Kecuali dengan Izin Suami
Imam Nawawi rahimahullah juga menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa seorang isteri tidak boleh berpuasa sunnah kalau suaminya ada kecuali dengan izin suami.
Pelajaran: Alasan Lain Memilih Qadha’ Puasa di Bulan Sya’ban
‘Aisyah dalam hadits ini memilih berpuasa pada bulan Sya’ban karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa di kebanyakan hari dari bulan Sya’ban. Kalau beliau sibuk puasa, tentu tidak berhajat pada ‘Aisyah di siang hari.
Pelajaran: Cara Qadha’ Puasa
Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa kebanyakan ulama menganjurkan agar qadha’ puasa disegerakan. Dianjurkan pula dalam penunaian qadha’ dilakukan berturut-turut secara langsung. Namun kalau tidak berturut-turut puasanya tetap sah menurut ulama Syafi’iyah dan kebanyakan ulama.
Semoga jadi ilmu yang bermanfaat.
Referensi:
Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
Syarh ‘Umdah Al-Ahkam. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Dar At-Tauhid.
Tanbih Al-Afham Syarh ‘Umdah Al-Ahkam. Cetakan pertama, tahun 1426 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Maktabah Ash-Shahabah.

Source: Rumaysho.com